“Tinggalkan dia di pusat kota New York atau pelosok Gunung Kidul sekalipun. Niscayalah, dia tak akan kesepian” Itu hanya gambaran singkat betapa kegemarannya bertualang dan berda’wah mengenalkannya padahantrakan banyak orang di sejumlah tempat. Ustadz Assegaf memang tokoh yang unik. Sulit melukiskan karakter dan penampilannya dalam satu-dua alenia saja. Penampilan sangat sedehana, tapi orang tidak akan menyangka dalam keseharianya sebentar ia ada di Jakarta, lusa ada di Pekalongan dan terkadang di Singapura, bukan ia terbang seperti dalam cerita.
Kebiasaannya menyambangi para kerabat,guru teman, bahkan mantan muridnya telah menghantarkan ustadz kesjumlah tempat. Ayah yang menyenangkan bagi anak-anaknya, juga sering berlaku sebagai juru damai bagi pihak-pihak yang bersilang faham.. Pembawaannya tenang dan berwibawa serta sorot matanya bersahabat. Ringan langkahnya menyambangi para kerabat, guru, teman, juga mantan muridnya.
Kegemarannya bertualang menghantarkan ia hampir ke pelosok nusantara hingga penjuru dunia. Teman dan kenalannya pun tersebar dimana-dimana. Kemana pun ia mau pergi, disitu kenalannya berada. Mungkin lebih dari separo hidupnya di Pekalongan, ia menginap di rumah bekas muridnya. Bukannya pria kelahiran Pekalongan ini tipe orang yang tidak betah dirumah. Boleh jadi, dengan cara seperti itulah ia berda’wah sembari mengamati bekas muridnya membina keluarga. Ketika bersilaturahmi selalu memanfaatkan untuk menyampaikan ayat-ayat Ilahi sangatlah sering. Hal ini menunjukkan betapa dia memiliki sifat yang lembut juga penghayatan yang mendalam terhadap apa-apa yang beliau utarakan. Kegetolan Ustadz yang bernama lengkap Muhammad bin Ahmad Assegaf berda’wah dan silaturahmi, tak ubahnya ia seorang “Pendekar Kelana” yang haus akan ilmu silat dan hendak mengamalkan apa saja yang telah ia peroleh.
Kedalamannya akan ilmu tafsir dan bahasa arab, tidak menjadikannya congkak. Ia seperti padi, semakin berisi, semakin menunduk. Ia juga termasuk tipe orang yang rajin, rapi dan tertib. Kegemaran unik lainnya adalah mendokumentasikan hal-hal kecil yang bagi orang lain mungkin dianggap remeh. Yakni mulai dari kartu undangan sampai dengan ide penting yang ia tuangkan pada secarik kertas. Semuanya itu disimpan dengan rapi dan lengkap.Ustadz kela1hiran 81 tahun silam ini menamatkan pendidikannya di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Bersama Ustadz Abdullah Hinduan dan para pendiri lainnya mendirikan Perguruan Ma’had Islam Pekalongan. Kepiawaian Assegaf dalam tafsir Al-Qur’an dan tata bahasa arab, rupanya menjadikan Ustadz Hinduan merasa perlu mengajak bergabung dalam mendirikan Ma’had Islam.
Pada tahun 1958 berencana melanjutkan studi ke Al-Azhar Mesir. Namun usia beliau saat akan mendaftar kesana sudah melampaui batas maksimal usia mahasiswa yang bisa diterima di Al-Azhar. Ada yang menyarankan agar memanipulasi umur agar lolos penerimaan. Namun saran itu ditolaknya.Ia bersikeras untuk jujur dalam semua hal. Dan Subkhanallah Assegaf muda berhasil masuk Al-Azhar dengan segala kejujuran. Bidang studi yang diambil adalah Syariah. Enam tahun Ustadz Muhammad Assegaf menjalani masa studi disana. Tak dinyana yang semula dipersulit masuk Al-Azhar, Akhirnya berhasil menamatkan studinya dengan predikat sangat terpuji (Summa Cumlaude). Lalu ia pun mendapat tawaran untuk mengajar di Al-Azhar, namun Assegaf memilih untuk pulang dan membesarkan Ma’had Islam.Memang, banyak kalangan yang mengatakan bahwa lebih menonjol bakat baliau sebagai penda’wah lisan yang tidak terpaku pada suatu institusi atau tempat saja.
Karena itulah ayah dari 3 putri sangat sering melakukan perjalanan ke luar kota hingga ke luar negeri untuk tujuan mulia, berda’wah dan silaturahmi.Bagi Ustadz Muhammad Assegaf, dakwah tidaklah harus di atas mimbar atau dalam pertemuan-pertemuan resmi saja. Setiap ada kesempatan menyampaikan nasehat, pasti dia pergunakan sebaik-baiknya. Meskipun dalam sebuah obrolan santai beliau juga terus belajar dan belajar. Sering hadir dan mendengarkan ceramah -ceramah para da’i lain guna mengambil nasehat dan pelajaran.Meski sering bepergian, menurut penuturan Rugayah, namun Ustadz Muhammad Assegaf sangat dekat dengan keluarga. “Sebagai seorang pemimpin keluarga, ayah mampu menjadi sosok yang bersahabat, demokratis dan mampu mengakomodasi suara hati keluarga. Hingga saya dan adik-adik tak sungkan untuk menjadikan ayah sebagai tempat curahan rasa hati sampai pada hal-hal yang sangat pribadi. Pesan yang paling sering disampaikan kepada anak-anaknya agar sesering dan sebanyak mungkin membaca kitab suci Al-Qur’an,” kisah Rugayah, putri sulungnya. Kepada anak-anaknya, Ustadz Muhammad Assegaf juga sering mengatakan bahwa ia telah memberi “porsekot maaf”. Biasanya diucapkan saat anaknya berbuat salah dan meminta maaf. Maksudnya adalah bahwa ia sudah memberikan garansi maaf kepada anak-anaknya hingga untuk kesalahan-kesalahan mereka pada masa mendatang. Didalam keluarga, kelapangan dada seorang ayah untuk memaafkan anak adalah sesuatu yang wajar. Namun diluar lingkungan keluarga pun ia dikenal dengan kelembutan hatinya, disamping sering meredakan perseturuan orang-orang di sekitarnya dengan segala niat baik, meski kadang posisinya itu menyulitkan dirinya sendiri.
Dalam soal kesederhanaan, rupanya setali tiga uang dengan para pendiri Ma’had Islam. Begitu sederhananya, sampai dompet di sakunya terbuat dari kertas yang dilipat sedemikian rupa hingga hanya bisa mengantongi satu dua lembar orang. Uniknya lagi, meski dikenal sebagai juru da’wah, rupanya ia terpikat pula dengan dunia bisnis. Usaha yang digelutinya pun tak jauh-jauh dari kegemarannya. Yakni, menjual kitab-kitab berbahasa arab terbitan mesir. Pikirnya, sembari da’wah dan silaturahim, ia bisa menjajakan barang dagangannya. Partner bisnisnya bukan sembarang perusahaan, toko buku Gunung Agung Jakarta, kebetulan distributornya adalah kawan lama yang biasa mendatangkan kitab-kitab dari mesir. Tapi rupanya, dunia dagang sebenarnya bukan barang baru lagi bagi ustadz. Semenjak jadi murid dan guru di MAI, ia sudah terbiasa menjajakan permen pada saat istirahat sekolah. Sungguh unik dan kaya akan pengalaman ustadz ini. Namun sayang, di usia renta, pada Senin 13 Syafar 1419 atau 8 juni 1998, Sang “Pendekar Kelana” itu pun “Lelah”. Berbekal niatan menyebar pesan Ilahi ini akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Berajang pada Sang Kekasih, Allah SWT.